Minggu, 27 Desember 2015

Dimana Restu?


Menguning sudah dedaunan pada pohon yang sejak lama kau tanam, ia semakin mengakar kuat. Dan... teramat kencang badai yang menghadang kali ini. Letih terkunci enggan berlari. Setia pada hati yang kau cintai. Samudera, himalaya, kau arungi untuk menumbuhkan asa. Apa yang harus kau lakukan lagi? Sudah cukup semuanya. Begitu tulus kau alirkan sungai penyejuk untuk muliakan mereka.




Kau terjerat luka...
Tak pernah terucap restu dari lisan ayah bunda. Pelik duka mengekang suka cita. Harappun tak kunjung nyata. Turuti segala ingin mereka, tanya iringi semangatmu untuk membahagiakan semua. "Akankah ada celah untuukku bisa memperoleh ridho-Nya hidup dengan cintaku?". Berbisik ribuan tanya dalam hatimu.

Kau terjerat luka...
Tak ada sempurna bagimu tanpa dukungan keluarga. Jika cinta yang kau raih tanpa restunya, kau merasa hidup dalam bui. Seakan gugur dedaunan yang menguning itu, mungkin lelah bertumbuh menemani jejak langkahmu yang tak kunjung buahkan tawa. Kekacauan hati mengupas rindu menjadi takut. Kau takut kehilangannya. Namun tak mungkin pula kau lukai mereka yang tak inginkan kau hidup dengan cintamu. Bagaimana mungkin kau terus terpaku dalam abu-abu ini.

Resah membelenggu. Mengapa cinta hadirkan pilu?. Adilkah semesta pada hidup ini?. Tuhan Maha Bijaksana dalam segala hal. Kau tegar hadapi semua karena kau ingat kebesaran-Nya. Semangatmu menggelora hingga semua yang menyaksikan berdecak kagum akan segala upayamu mengantongi restu.

Kau sesabar-sabarnya wanita. Hingga aku tahu kau mampu. Arungilah ini dengan tenang jiwa. Kekasihpun tak luput dalam do'a-do'a mu. Terpanjat pula do'a dari lubuk hati yang terdalam, "izinkan aku menghabiskan sisa hidup bersama orang yang aku cinta, ayah bundaku..."



Untuk gadis 28 April ku.




Sabtu, 19 September 2015

Salamku


Asa bergemuruh disetiap tibanya fajar. Menguat mengencang semangatnya. Membiarkan debu jalanan hinggapi tubuh rentanya. Menjajakkan sesuatu dengan lantangnya suara. Senyum samarkan isyarat luka meski berpijak dibumi ini juga melelahkan. Berdiri ia diantara ribuan manusia dengan hiruk pikuknya kota. Terik, keringat, hadir bagai kawan.

Seperti biasa,
Pada waktu tertentu saat berpapasan denganku selalu ia tanyakan "sekarang jam berapa?". Semacam waktu akan memburu menderu laju. Sesekali ia dekati kaca jendela mobil yang terbuka. Kadang terjadi transaksi, kadang juga diacuhkan pergi.

Tak disangka asanya seteguh baja. Hingga puluhan pagi kujumpai sosoknya masih setara ambisi jiwa muda. Ia tahu Tuhan Maha Bijaksana. Apa yang didapat tak lupa disyukurinya. Tak jarang binar mata meneriakkan lara. Ia pun tahu, hidup penuh paradoks. Tinggi rendah diatas dibawah pahit manis.
Semua ada masanya.


Salamku untukmu yang tak pernah lagi bersua,


lelaki tua penjual koran di perempatan jalan.